Tidak ada yang lebih indah daripada menatap senyum orang yang sangat kita cintai. Devo memberikan tatapan penuh cinta ketika tunangan nya, Delia, tertawa dengan candaan yang mengalir diantara mereka berdua. Hhh, betapa indahnya cinta tanpa tangis. Devo dan Delia adalah dua sejoli yang sudah memulai kisah cinta mereka selama dua tahun. Waktu yang belum terbilang cukup lama.
Selama dua tahun, penuh tawa.
“ Dev, ada yang kamu butuhin nggak dari aku? “ tanya Delia di dalam pelukan Devo. Saat ini, mereka berada di ruang keluarga rumah Devo, sambil menonton sebuah reality show korea kesukaan Delia. Menghabiskan weekend dengan tangan yang saling mengait tubuh mereka masing-masing. Posisi yang sangat Devo suka.
“ Maksud kamu? “
Delia bangun dari posisinya, dan duduk melihat ke arah tunangan nya itu. “ Udah dua tahun kita jadian, tapi kamu selalu nggak pernah ngerepotin aku sama sekali. Kayak misalkan kamu butuh aku buat bantuin kamu nyusun tesis kamu, atau kamu butuh aku buat ngelampiasin amarah kamu kalo lagi sebel di kantor, atau kamu butuh aku buat mijitin kamu yang pegel-pegel abis pulang dari kantor, atau- “
“ Lia, “ panggil Devo memotong ucapan Delia sebelum kalimat itu tidak pernah selesai. Ia tersenyum menatap wanita nya, dengan penuh kasih sayang. “ Kamu mau aku repotin? “
Delia mengangguk. “ Aku mau ngerasain susah juga, Dev. “
“ Kenapa? “
“ Aku takut kalo nanti ternyata kita harus pisah, yang ada di pikiran aku cuma semua hal yang ngebuat aku bahagia. Aku takut kalo harus jauh dari kamu. “
“ Kenapa kita harus pisah? “ tanya Devo masih dengan nada lembutnya. “ Abis aku wisuda besok, kita ‘kan bakal nikah, Ya. Tunggu tiga bulan lagi. “
Delia tersenyum getir, sambil menundukkan kepala nya. “ Tiga bulan itu lama banget, Dev. “
Devo terkekeh pelan, ia mendekatkan tubuhnya kepada Delia, dan mengangkat pelan kepala wanita tersebut. “ Kamu mau kita nikah besok? “
“ Nggak gitu, Devo. “
“ Terus kamu mau gimana, sayang? “ tanya Devo sambil menarik Delia ke dalam pelukannya. “ Udah, jangan mikirin suatu hal yang aneh-aneh. Aku nggak tau besok bakal gimana, tapi sekarang, buat ninggalin kamu, nggak pernah ada di dalam pikiran aku, Ya. “
Delia melepas pelukan mereka dan menatap Devo penuh rasa khawatir. Ia menatap dalam mata orang yang sangat ia cintai itu, dan mengecup bibir nya sesaat. Ia tempelkan dahinya dengan dahi Devo. “ Aku juga nggak mau ninggalin kamu, Dev. “
Sore itu, berakhir dengan sendu. Mereka berdua tertidur lelap dengan saling memeluk tubuh satu sama lain. Rumah Devo yang sudah ia tinggali sendiri sejak masuk S2 menjadi terasa dingin dengan suasanya yang masih nyaman. Entah apa yang sebelumnya dipikirkan oleh Delia, sampai-sampai tawa mereka yang awalnya terdengar nyaring seantero ruangan menjadi sunyi. Dalam tidurnya, sesekali Delia masih sesegukan dari sisa tangisnya tadi. Devo dengan refleks mengelus punggung wanita nya itu. Percayalah, semua orang pasti memasang wajah iri ketika melihat betapa besarnya cinta yang dimiliki antara mereka berdua.
Pukul 8 malam, Delia terbangun dari tidurnya. Devo masih terlelap dengan keadaan yang terlihat sangat lelah. Delia bangun dari tidurnya, dan memberikan selimut yang mereka pakai, ke tubuh Devo. Ia memperhatikan wajah Devo secara intens, mengusap pucuk kepala nya, dan mengecup dahi nya perlahan. Devo terbangun.
“ Udah jam 8, aku pulang ya. “
Devo yang masih setengah sadar berusaha bangun dari tidurnya. Akan tetapi, Delia menyuruhnya untuk tetap dalam posisinya. “ Udah kamu tidur aja. Istirahat yang cukup ya, besok kita ketemu lagi. “
“ Kamu nggak mau nginep aja, Ya? “ dengan suara nya yang masih setengah tidur.
“ Nggak, Dev. “ ucapnya sambil terkekeh pelan mendengar pertanyaan setengah sadar yang keluar dari mulut Devo. “ Udah ya, aku pamit. “ ia mencium kembali dahi Devo.
“ Sampe ketemu besok, I love you. “
“ Love you too. “ Devo kembali dari tidurnya.
…
Kalimat ‘sampai ketemu besok’ terasa menyakitkan ketika tidak ada lagi besok yang bersedia menemukan mereka berdua. Keesokan harinya, Devo bekerja seperti biasa dan mengirim pesan teks kepada Delia.
Ya, aku udah OTW kantor nih. Kamu udah jalan juga?
Pesan yang ia kirim pagi tadi, ketika berangkat ke kantor.
Sibuk, kah? Banyak pelanggan ya?
Pesan yang ia kirim saat makan siang.
Delia?
Dan pesan yang baru ia kirim tadi. Devo terlihat sangat bingung ketika tidak ada satu pun pesan yang dibalas, dan panggilan yang dijawab. Tidak biasanya Delia tidak membalas pesan Devo lebih dari lima menit. Satu jam menuju jam pulang akhirnya terasa sangat lama. Kaki Devo tidak berhenti bergetar sedari tadi. Muka ia terlihat sangat cemas, dan satu kerjaan pun tidak ia selesaikan hari ini. Beberapa temannya terus bertanya memastikan apakah ia baik-baik saja atau tidak, dan ia hanya menjawab “ gue gapapa “ tanpa arti yang meyakinkan.
Jam pulang akhirnya tiba, dan Devo langsung berlari keluar menuju parkiran, menaiki mobilnya. Ia terus mengendarai mobil nya dengan kecepatan yang seharusnya sudah melanggar peraturan, menuju toko bunga milik Delia. Saat tiba di tempat tujuan, Devo langsung turun dari mobil nya, dan mendapati toko tersebut tutup. Ia mengacak-ngacak rambutnya, dan langsung memasuki mobil nya lagi. Kali ini, ia pergi menuju apartement Delia yang tidak jauh dari toko bunga milik Delia, dan hasilnya nihil.
Ia mencoba buka pintu apartemen tersebut dengan sandi yang sudah ia hapal diluar kepala berkali-kali, dan tetap gagal. Satu orang keluar dari pintu sebelah apartemen Delia, dan memberi tahu Devo bahwa tadi malam dia sudah pindah.
Devo terdiam mematung. Tidak ada yang sanggup ia ucapkan saat ini. Tubuh nya terasa lemas, dan akhirnya kaki nya menekuk, bersandar pada tembok. “ Pindah? “
Ia mengusap kasar wajah nya, dan mencoba menelfon kembali Delia. “ Delia, kamu kemana? “ masih tidak ada jawaban,
Hari itu berakhir dengan kegusaran tiada ujung yang dirasakan Devo. Malam, hingga pagi, ratusan hingga ribuan panggilan terus ia coba berhari-hari. Kalimat ‘sampai ketemu besok’ terus terngiang dalam kepala Devo. Berulang kali ia terus menyalahkan dirinya sendiri, atas perginya Delia. Berulang kali ia menyumpah serapah dirinya, terus berfikir seharusnya ia sadar terakhir mereka bercengkerama, ada suatu hal yang tidak beres. Seharusnya ia bertanya dengan sungguh-sungguh apa yang sebenarnya terjadi.
Sampai akhirnya, dua minggu kemudian, untuk pertama kalinya Devo menyalahkan Delia. Pagi tadi seorang laki-laki menghampiri ia di kantor saat jam makan siang. Delio, kembaran Delia. Ia mengajak Devo untuk ikut kepadanya tanpa tanya, tanpa jawaban. Delio mengajak Devo ke Balikpapan, tempat asal Delia. Mereka pergi menuju salah satu rumah sakit swasta terbesar di kota itu, dan memasuki salah satu bangsal VIP. Delio meninggalkan Devo dalam ruangan tersebut.
Untuk pertama kalinya, Devo menyalahkan Delia atas segalanya. Untuk pertama kalinya, dalam hubungan mereka, Devo merasakan sakit yang terasa begitu pedih. Delia terbaring lemah dengan selang-selang yang berada di sekitar tubuhnya. Elektrokardiogram yang berada di sebelahnya masih terdengar, dengan grafik jantung yang masih tergambar secara naik-turun. Devo menyentuh tangan Delia yang sangat dingin. Ia tidak bergeming sama sekali, dan masih nyaman dalam matanya yang tertutup.
“ Ternyata maksud kamu, ‘besok’ nya itu hari ini, Ya. “ kalimat pertama yang keluar dari mulut Devo. Ia bawa tangan Delia mendekat kepada wajahnya, dan ia cium punggung tangan wanita nya dengan lembut. “ Tangan kamu dingin banget. “
“ Delia, bangun sayang. “ ucap nya lagi setelah beberapa menit keheningan, dengan tangisan yang akhirnya tidak sanggup ia tahan. Ia menangis sejadi-jadinya hingga suara nya terdengar sampai keluar ruangan dan keluarga Delia yang berada di luar menundukkan kepala mereka, terhanyut dengan keadaan yang sangat menyedihkan ini. Tangis Devo yang sedari kemarin ia tahan, akhirnya terdengar di tengah ruangan yang dingin ini. Tangis yang terasa begitu pedih, jika kita mendengarnya.
Ia bangun dari duduknya, dan mengusap lembut rambut Delia. Ia kecup perlahan dahi nya, “ Aku sayang kamu. “ ucapnya lirih.
Suara elektrokardiogram terus berbunyi tanpa jeda, yang membuat tangis Devo semakin menjadi-jadi. Ia lepas alat pernapasan yang menutupi setengah wajah cantik Delia. Ia kecup hidungnya, “ Aku ikhlas, Ya. “ katanya lirih.
Dan untuk terakhir kali, Ia kecup bibirnya yang indah itu sambil mengucapkan, “ Pergi yang tenang, Delia ku. “
Sebuah kotak indah yang hilang. Milik-Nya, dan akhirnya kembali kepada-Nya.
[]
Perpisahan akan selalu ada di setiap pertemuan. Rangkaian cerita yang berawal indah pasti akan diakhiri. Entah dengan akhir yang sedih, atau bahagia, semuanya tergantung bagaimana pembaca melihat sisi yang dipilih. Satu hal yang harus diingat, besok adalah sebuah kata dengan cakupan yang sangat luas.
Sampai ketemu besok, lagi.